Keberadaan buruh dan tenaga kerja menjadi
faktor yang krusial dalam dunia industri. Tanpa buruh, pemilik usaha tidak bisa
menjalankan bisnisnya dengan baik. Di sisi lain, buruh juga tidak bisa
bertindak seenak hatinya ketika melaksanakan kewajiban di tempat kerja.
Oleh karena itu, perlu ada hukum yang secara
khusus mengatur hubungan antara pemilik usaha dengan para buruh dan tenaga
kerja. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum, semua
aturan yang menyangkut hak dan kewajiban warga negara harus memiliki hukum
tertulis yang jelas.
Landasan utama hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia tidak lain adalah Undang-Undang Dasar
1945. Lewat UUD 1945, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan serta
penghidupan yang layak. Oleh karena itu, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan
di Indonesia harus dipatuhi oleh semua warga negara.
Sejarah
Perkembangan UU Ketenagakerjaan di Indonesia
Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di
Indonesia sudah ada sebelum masa kemerdekaan.
Hanya saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut bukan Pemerintah Indonesia,
tapi penjajah Belanda. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, hukum
terkait ketenagakerjaan dikeluarkan oleh pemerintah.
Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Perubahan itu
dimulai dari era penjajahan Belanda yang memberlakukan hukum perbudaan, era
orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
- Zaman Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4
hukum perburuhan dan ketenagakerjaan yang diberlakukan. Empat hukum tersebut
adalah perbudakan, perhambaan, kerja rodi, dan Poenale Sanctie.
Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada
masa ini, masyarakat Indonesia yang menjadi budak tidak memiliki hak apapun,
termasuk hak hidup. Beberapa aturan yang dibuat terkait perbudakan pada masa
ini antara lain adalah peraturan pendaftaran budak, pajak atas kepemilikan
budak, ataupun penggantian nama untuk para budak.
Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas,
hukum ini memiliki kesamaan dengan perbudakan, hanya saja agak lebih ringan. Seorang
hamba, menurut hukum ini, merupakan barang jaminan karena adanya utang yang
belum bisa dilunasi. Alhasil, selama utangnya belum lunas, seorang hamba bakal
terus mengabdi kepada majikan.
Setelah hukum perhambaan, muncul hukum rodi,
yang dalam praktiknya juga tidak jauh berbeda dengan perbudakan. Pada hukum
rodi, masyarakat dipaksa untuk bekerja demi kepentingan penguasa. Salah satu
wujud kekejaman dari hukum rodi di zaman penjajahan Belanda ini adalah
pembangunan Jalan Daendels sejauh 1.000 km yang menghubungkan antara Panarukan
di Jawa Timur dengan Anyer di Banten.
Poenale Sanctie menjadi
hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang berlaku setelah hukum
rodi. Kemunculan hukum ini diawali dengan adanya Agrarische Wet alias
Undang-Undang Agraria pada tahun 1970. Pada masa ini, muncul banyak perusahaan
perkebunan swasta berskala besar. Oleh karena itu, hukum yang mengatur
perburuhan berperan sentral.
Pada awalnya, pada Poenale Sanctie diberlakukan Politie
Straaf reglement alias Peraturan Pidana Polisi. Peraturan ini lebih
menitikberatkan pada kepentingan majikan, dan akhirnya dihapus pada tahun 1879.
Keberadaannya digantikan oleh Koeli Ordonantie (1880) yang
kemudian dikenal dengan nama Poenale Sanctie.
Dalam hukum terbaru ini, Pemerintah Belanda
melarang adanya pemaksaan, ancaman, atau pemerasan dalam hubungan perburuhan.
Selain itu, perjanjian antara buruh dan majikan harus dilakukan secara tertulis
pada rentang waktu tertentu. Ketika aturan ini dilanggar, bakal ada sanksi yang
dijatuhkan kepada pelanggarnya, baik majikan ataupun buruh.
- Orde Lama
Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi
buruh dan tenaga kerja di Indonesia mengalami perbaikan. Pemerintah Orde Lama
yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa
aturan yang memberi perlindungan kepada para tenaga kerja. Sebagai buktinya,
beberapa aturan yang pernah dirilis antara lain adalah:
- UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang
Kecelakaan Kerja
- UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang
Kerja
- UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang
Pengawasan Perburuhan
- UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang
Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan
- UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
- UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang
Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Dasar-dasar dari Hak Untuk
Berorganisasi dan Berunding Bersama
- Permenaker No. 90 Tahun 1955
Tentang Pendaftaran Serikat Buruh
- Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha
untuk meningkatkan pembangunan dengan tetap menjaga stabilitas nasional.
Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila
atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini dibuat
dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit,
serta kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak
terkait.
- Masa Reformasi
Pada masa reformasi, peraturan terkait
perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami perubahan secara dinamis. Apalagi,
terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang singkat, mulai dari
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid
(1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014.
Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya
meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 yang memberi perlindungan
hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi aturan ILO terkait usia
minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan ini juga
diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM.
Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden
Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan terhadap para pekerja atau serikat
buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan peluncuran UU nomor 21 Tahun
2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya perlindungan, UU ini juga
dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat itu.
Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden
Megawati, aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami
perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti dari 15 aturan
ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.
Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga
menjadi landasan atas keluarnya aturan perundang-undangan lain di masa
Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat dengan berdasarkan UU
Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Sumber
Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia
Sumber hukum perburuhan dan
ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya berasal 1 satu peraturan. Ada
6 jenis sumber hukum yang diakui dan dijalankan. Enam sumber hukum tersebut
adalah:
- Undang-undang
Undang-undang merupakan aturan yang
ditetapkan oleh presiden dengan disetujui oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Ada pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang
memiliki hukum setara dengan undang-undang. Berbeda dengan undang-undang,
penetapan perpu bisa dilakukan secara langsung oleh presiden tanpa harus
memperoleh persetujuan DPR. Namun, perpu harus diajukan pada persidangan DPR
berikutnya dalam rangka penetapan aturan tersebut menjadi undang-undang.
- Peraturan lain
Peraturan lain merupakan aturan yang secara
hukum posisinya berada di bawah undang-undang. Ada beberapa jenis peraturan
yang masuk dalam kategori ini, di antaranya adalah Peraturan Presiden,
Keputusan Presiden, serta peraturan atau keputusan instansi.
Karena mencakup banyak pihak, tidak heran
kalau peraturan lain yang menyangkut tentang perburuhan dan ketenagakerjaan di
Indonesia sangat banyak. Sebagai contoh di antaranya adalah, Permenakertrans
Nomor 13 Tahun 2012, Permendag Nomor 50 Tahun 2010, Perpres Nomor 12 tahun
2013, dan lain-lain.
- Kebiasaan
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan
berikutnya di Indonesia adalah kebiasaan. Suatu kebiasaan dianggap sebagai
hukum tak tertulis ketika menjadi hal yang telah dilakukan berulang-ulang.
Apalagi, banyak pihak yang menaati aturan tak tertulis dan menerimanya tanpa
ada keluhan.
- Putusan hukum
Putusan hukum menjadi aturan hukum yang harus
ditaati berikutnya. Hanya saja, putusan hukum berlaku secara terbatas. Sebagai
contoh, pada kasus putusan Mahkama Konstitusi (MK) terhadap gugatan hukum pada
isi UU Ketenagakerjaan. Sebagian gugatan diterima oleh hakim, tapi putusan ini
tidak mengubah isi undang-undang.
- Perjanjian
Perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan
karyawan juga menjadi salah satu bentuk sumber hukum perburuhan dan ketenaga
kerjaan. Hanya saja, secara umum perjanjian hanya mengikat kepada pihak yang
berkaitan secara langsung. Selain itu, isi dari perjanjian biasanya boleh
diketahui oleh pihak terkait. Apalagi, perjanjian ketenagakerjaan yang
melibatkan serikat pekerja dengan perkumpulan pengusaha.
- Traktat
Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan
di Indonesia yang terakhir adalah traktat, perjanjian yang
dilaksanakan oleh dua atau beberapa negara. Konvensi yang merupakan perjanjian
internasional oleh lembaga dunia menjadi salah satu jenis traktat, misalnya
konvensi ILO.
Hanya saja, di Indonesia, konvensi ILO tidak
secara otomatis menjadi sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan. Agar
aturan pada konvensi itu bisa diberlakukan di Indonesia, pemerintah harus
melakukan ratifikasi. Contoh ratifikasi yang pernah dilakukan antara lain adalah,
UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia
Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973.
UU
Ketenagakerjaan Terbaru di Indonesia
Seperti yang telah disebutkan, undang-undang
menjadi aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan tertinggi di Indonesia. Di
bawahnya, baru ada peraturan lain yang dibuat dengan landasan undang-undang.
Saat ini, terdapat 4 aturan perundang-undangan terkait perburuhan dan
ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, yaitu:
- UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-undang ini mengatur terkait
perselisihan yang muncul dalam hubungan industrial. Berdasarkan aturan hukum
perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia ini, terdapat 4 jenis
perselisihan yang bisa terjadi, yaitu:
1. Perselisihan hak
Perselisihan ini timbul disebabkan oleh tidak
dipenuhinya hak yang merupakan akibat adanya perbedaan pemahaman atau
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2. Perselisihan kepentingan
Perselisihan ini muncul dalam hubungan
industrial karena tidak adanya kesepahaman mengenai pembuatan, dan atau
perubahan syarat-syarat kerja pada perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja
(PHK)
Perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kepahaman mengenai pemutusan hubungan kerja oleh salah satu pihak. Dalam
penyelesaian perselisihan itu, pihak-pihak yang terkait bisa memilih berbagai
metode, seperti perundingan bipartit, mediasi oleh pemerintah, penyelesaian
melalui konsiliasi, penyelesaian lewat arbitrase, ataupun pengadilan
perselisihan hubungan industrial (PHI).
4. Perselisihan antara serikat pekerja
Perselisihan ini terjadi pada dua serikat
pekerja atau lebih yang berada dalam 1 perusahaan. Perselisihan itu bisa
terjadi karena tidak adanya kesesuaian pemahaman terkait keanggotaan,
pelaksanaan hak, serta kewajiban keserikatpekerjaan.
- UU Nomor 18 Tentang
Perlindungan Pekerja Migran Tahun 2017
Undang-undang ini mengatur terkait penempatan,
perlindungan, serta persyaratan para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ada di
luar negeri. Keberadaannya menggantikan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri.
Di dalamnya, diatur secara rinci tahapan yang
harus dilalui ketika seorang warga negara ingin mengajukan diri menjadi seorang
TKI. Selain itu, diatur pula terkait perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia
(PJTKI).
Selain itu, UU ini juga memberi perlindungan
tidak hanya pada TKI, tapi juga anggota keluarga. Hal ini sesuai dengan
Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya.
- UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang
Serikat Pekerja
UU Nomor 21 Tahun 2000 memberikan kesempatan
bagi para buruh untuk mendirikan organisasi buruh secara mandiri. Tidak heran
kalau saat ini banyak bermunculan serikat buruh yang memiliki visi serta
misinya masing-masing. Bahkan, dalam satu perusahaan, bisa muncul serikat buruh
lebih dari 1 organisasi. Hal ini sangat memungkinkan karena menurut aturan ini,
buruh bisa mendirikan organisasi dengan anggota minimal 10 orang.
- UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
merupakan landasan dasar dari aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di
Indonesia. UU ini memiliki total sebanyak 193 pasal dan memiliki cakupan hukum
yang luas. Undang-undang ini juga mengatur tentang status hubungan industrial
pada setiap jenis usaha. Mulai dari usaha kecil, menengah, hingga usaha besar.
Undang-undang ini pun mengatur tentang
hubungan kerja yang berlangsung antara buruh dengan perusahaan, termasuk di
antaranya adalah perlindungan, hak , serta kewajiban masing-masing pekerja dan
pengusaha. Secara khusus, problem yang kerap menjadi sorotan dari UU
Ketenagakerjaan ini adalah terkait kebijakan outsourcing, pemberian
upah murah, serta PHK yang terjadi seenaknya.
Mengkritisi
Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia
Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di
Indonesia sangat kompleks. Apalagi, aturan ini dibuat untuk mengatur seluruh
warga negara dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya lebih dari 200 juta
jiwa. Tidak heran kalau aturan ini pun memiliki banyak kekurangan.
Karena itu, para buruh dalam setiap perayaan
May Day yang jatuh pada tanggal 1 Mei, menyuarakan pendapatnya agar pemerintah
melakukan revisi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia. Permintaan
revisi itu tidak hanya terkait UU Ketenagakerjaan, tapi juga UU terkait lain.
Keberadaan aturan hukum ketenagakerjaan di
Indonesia tidak hanya merugikan bagi para buruh. Kerugian tidak kalah besar
juga diperoleh para pengusaha. Oleh karena itu, permintaan revisi serupa juga
diungkapkan oleh para pengusaha, baik pengusaha lokal ataupun pengusaha luar
negeri yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Setidaknya, ada 5 poin yang menjadi kritik
untuk aturan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu:
- PHK karyawan
Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, menyebutkan
bahwa perusahaan bisa memecat karyawan ketika melakukan kesalahan berat. Hanya
saja, undang-undang ini tidak menyebutkan secara jelas kriteria yang termasuk
dalam kesalahan berat tersebut. Alhasil, buruh menjadi pihak yang dirugikan
akibat aturan ini.
- Karyawan outsourcing
Alih daya tenaga kerja (outsourcing)
menjadi sumber permasalahan yang banyak dikritik dari UU Ketenagakerjaan. Pada
praktiknya, banyak perusahaan yang menggunakan karyawan outsourcing untuk
memenuhi kebutuhan tenaga pada kegiatan utama. Namun, para pengusaha kerap
beralasan bahwa UU ini tidak menyebutkan secara jelas penafsiran dari kegiatan
utama.
- Inkonsistensi
UU ini juga memiliki inkonsistensi pada
pasal-pasalnya. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Aloysius Uwiyono dari
Universitas Indonesia seperti dikutip dari Hukum Online. Salah satu
inkonsistensi pada UU ini adalah terkait perjanjian kerja waktu tertentu atau
KKWT.
UU ini menyebutkan bahwa KKWT merupakan
perjanjian yang dilakukan pada jangka waktu tertentu. Namun, pada pasal lain,
mengungkapkan bahwa perjanjian kerja pada pekerjaan yang bersifat tetap, tidak
boleh memakai aturan perjanjian kerja waktu tertentu.
Secara khusus, inkonsistensi ini menjadi
menjadi permasalahan pada UU Ketenagakerjaan yang merugikan para pengusaha.
Kritik terhadap undang-undang ini dari kalangan pengusaha pernah dilontarkan
oleh Direktur Utama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Masahiro Nonami.
Dalam wawancaranya dengan Tempo, Nonami
mengungkapkan bahwa tuntutan upah layak, penolakan PHK, ataupun permintaan
tunjangan sosial dari kalangan buruh sudah menjadi hal yang biasa, khususnya di
negara berkembang. Hal seperti ini pernah terjadi di Jepang pada kurun 1970-an.
Menurut Nonami, permasalahan seperti itu
tidak akan dihadapi pemerintah kalau UU Ketenagakerjaan yang berlaku di
Indonesia memiliki aturan yang jelas. Selama ini, ujar Nonami, aturan terkait
perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia dianggapnya tidak jelas. Alhasil,
terjadi multitafsir dalam penerapannya di lapangan.
- Pengadilan PHI
Selama ini, pengadilan yang mengurusi
perselisihan dalam hubungan industrial bersifat yudikatif. Hal ini dianggap
tidak tepat, karena seharusnya lembaga tersebut secara khusus menangani
permasalahan hubungan industrial. Alih-alih lembaga yudikatif, pengadilan PHI
lebih cocok adalah lembaga eksekutif.
Tidak hanya itu, pengadilan PHI juga harus
menyediakan layanan pencarian keadilan yang ramah bagi para buruh. Apalagi,
saat ini dalam praktiknya, pertikaian antara buruh melawan pengusahan di
pengadilan PHI berakhir dengan kemenangan pengusaha. Mayoritas karena masalah
finansial dari para buruh.
- Pengadilan PHI sebagai sarana
buruh mencari keadilan
Dosen hukum ketenagakerjaan dari Fakultas
Hukum Unair, Hadi Subhan mengatakan pengadilan PHI tidak memberi perlindungan
kepada para buruh. Padahal, sejatinya keberadaan pengadilan PHI merupakan
sarana para buruh dalam mencari keadilan.
Oleh karena itu, pengadilan PHI seharusnya
diberlakukan seperti PTUN. Di situ, rakyat bisa menggugat pejabat negara, namun
tidak berlaku sebaliknya. Kalau hal ini diberlakukan, maka buruh bisa menggugat
perusahaan, tapi perusahaan tak bisa menuntut buruh.
Solusi
Permasalahan Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Lukman Hakim
mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, konflik antara pengusaha
dengan para buruh mengalami peningkatan. Menariknya, sumber permasalahan dari
konflik tersebut tidak lain adalah UU Ketenagakerjaan.
Seiring dengan peningkatan perselisihan tersebut, pihak-pihak yang tengah berselisih, baik pengusaha ataupun para buruh harus mempersiapkan diri dengan baik. Salah satunya adalah dengan menggunakan tenaga pengacara khusus hukum perburuhan dan ketenagakerjaan.
Sumber : bplawyers.co.id