Selasa, 01 September 2020

Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia

 


Keberadaan buruh dan tenaga kerja menjadi faktor yang krusial dalam dunia industri. Tanpa buruh, pemilik usaha tidak bisa menjalankan bisnisnya dengan baik. Di sisi lain, buruh juga tidak bisa bertindak seenak hatinya ketika melaksanakan kewajiban di tempat kerja.

Oleh karena itu, perlu ada hukum yang secara khusus mengatur hubungan antara pemilik usaha dengan para buruh dan tenaga kerja. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum, semua aturan yang menyangkut hak dan kewajiban warga negara harus memiliki hukum tertulis yang jelas.

Landasan utama hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia tidak lain adalah Undang-Undang Dasar 1945. Lewat UUD 1945, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan serta penghidupan yang layak. Oleh karena itu, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia harus dipatuhi oleh semua warga negara.

 

Sejarah Perkembangan UU Ketenagakerjaan di Indonesia

Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sudah ada sebelum masa kemerdekaan. Hanya saja, pihak yang mengeluarkan hukum tersebut bukan Pemerintah Indonesia, tapi penjajah Belanda. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, hukum terkait ketenagakerjaan dikeluarkan oleh pemerintah.

Dalam perjalanannya, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Perubahan itu dimulai dari era penjajahan Belanda yang memberlakukan hukum perbudaan, era orde lama, orde baru, dan masa reformasi.

  • Zaman Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat 4 hukum perburuhan dan ketenagakerjaan yang diberlakukan. Empat hukum tersebut adalah perbudakan, perhambaan, kerja rodi, dan Poenale Sanctie.

Hukum yang pertama adalah perbudakan. Pada masa ini, masyarakat Indonesia yang menjadi budak tidak memiliki hak apapun, termasuk hak hidup. Beberapa aturan yang dibuat terkait perbudakan pada masa ini antara lain adalah peraturan pendaftaran budak, pajak atas kepemilikan budak, ataupun penggantian nama untuk para budak.

Berikutnya adalah hukum perhambaan. Sekilas, hukum ini memiliki kesamaan dengan perbudakan, hanya saja agak lebih ringan. Seorang hamba, menurut hukum ini, merupakan barang jaminan karena adanya utang yang belum bisa dilunasi. Alhasil, selama utangnya belum lunas, seorang hamba bakal terus mengabdi kepada majikan.

Setelah hukum perhambaan, muncul hukum rodi, yang dalam praktiknya juga tidak jauh berbeda dengan perbudakan. Pada hukum rodi, masyarakat dipaksa untuk bekerja demi kepentingan penguasa. Salah satu wujud kekejaman dari hukum rodi di zaman penjajahan Belanda ini adalah pembangunan Jalan Daendels sejauh 1.000 km yang menghubungkan antara Panarukan di Jawa Timur dengan Anyer di Banten.

Poenale Sanctie menjadi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang berlaku setelah hukum rodi. Kemunculan hukum ini diawali dengan adanya Agrarische Wet alias Undang-Undang Agraria pada tahun 1970. Pada masa ini, muncul banyak perusahaan perkebunan swasta berskala besar. Oleh karena itu, hukum yang mengatur perburuhan berperan sentral.

Pada awalnya, pada Poenale Sanctie diberlakukan Politie Straaf reglement alias Peraturan Pidana Polisi. Peraturan ini lebih menitikberatkan pada kepentingan majikan, dan akhirnya dihapus pada tahun 1879. Keberadaannya digantikan oleh Koeli Ordonantie (1880) yang kemudian dikenal dengan nama Poenale Sanctie.

Dalam hukum terbaru ini, Pemerintah Belanda melarang adanya pemaksaan, ancaman, atau pemerasan dalam hubungan perburuhan. Selain itu, perjanjian antara buruh dan majikan harus dilakukan secara tertulis pada rentang waktu tertentu. Ketika aturan ini dilanggar, bakal ada sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggarnya, baik majikan ataupun buruh.

 

  • Orde Lama

Ketika memasuki masa kemerdekaan, kondisi buruh dan tenaga kerja di Indonesia mengalami perbaikan. Pemerintah Orde Lama yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa aturan yang memberi perlindungan kepada para tenaga kerja. Sebagai buktinya, beberapa aturan yang pernah dirilis antara lain adalah:

  1. UU Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja
  2. UU Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja
  3. UU Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
  4. UU Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan
  5. UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  6. UU Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
  7. Permenaker No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh

 

  • Orde Baru

Pada masa Orde Baru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pembangunan dengan tetap menjaga stabilitas nasional. Hasilnya, lahirlah aturan yang disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila atau Hubungan Perburuhan Pancasila. Sesuai dengan namanya, aturan ini dibuat dengan berlandaskan pada Pancasila. Di lapangan, ada lembaga bipartit, tripartit, serta kesepakatan kerja bersama yang keanggotaannya diambil dari pihak-pihak terkait.

 

  • Masa Reformasi

Pada masa reformasi, peraturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami perubahan secara dinamis. Apalagi, terjadi pergantian pemerintahan dalam kurun yang singkat, mulai dari Pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), hingga Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah pada rentang 2004-2014.

Presiden Habibie pada awal kepemimpinannya meluncurkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 yang memberi perlindungan hak berorganisasi. Selain itu, ada pula ratifikasi aturan ILO terkait usia minimum untuk bekerja. Tidak ketinggalan, pada masa pemerintahan ini juga diluncurkan perpu yang mengatur tentang pengadilan HAM.

Sementara itu, pada masa Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan perlindungan terhadap para pekerja atau serikat buruh. Upaya perlindungan itu dilakukan dengan peluncuran UU nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Selain sebagai upaya perlindungan, UU ini juga dipakai sebagai sarana untuk memperbaiki iklim demokrasi saat itu.

Selanjutnya, pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan drastis. Alasannya adalah peluncuran UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU ini menjadi pengganti dari 15 aturan ketenagakerjaan yang sebelumnya telah ada.

Keberadaan UU Ketenagakerjaan tersebut juga menjadi landasan atas keluarnya aturan perundang-undangan lain di masa Pemerintahan Megawati. Terdapat 2 UU yang dibuat dengan berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yakni UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta UU Nomor 39 Tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

 

Sumber Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya berasal 1 satu peraturan. Ada 6 jenis sumber hukum yang diakui dan dijalankan. Enam sumber hukum tersebut adalah:

  • Undang-undang

Undang-undang merupakan aturan yang ditetapkan oleh presiden dengan disetujui oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang memiliki hukum setara dengan undang-undang. Berbeda dengan undang-undang, penetapan perpu bisa dilakukan secara langsung oleh presiden tanpa harus memperoleh persetujuan DPR. Namun, perpu harus diajukan pada persidangan DPR berikutnya dalam rangka penetapan aturan tersebut menjadi undang-undang.

  • Peraturan lain

Peraturan lain merupakan aturan yang secara hukum posisinya berada di bawah undang-undang. Ada beberapa jenis peraturan yang masuk dalam kategori ini, di antaranya adalah Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, serta peraturan atau keputusan instansi.

Karena mencakup banyak pihak, tidak heran kalau peraturan lain yang menyangkut tentang perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat banyak. Sebagai contoh di antaranya adalah, Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, Permendag Nomor 50 Tahun 2010, Perpres Nomor 12 tahun 2013, dan lain-lain.

  • Kebiasaan

Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan berikutnya di Indonesia adalah kebiasaan. Suatu kebiasaan dianggap sebagai hukum tak tertulis ketika menjadi hal yang telah dilakukan berulang-ulang. Apalagi, banyak pihak yang menaati aturan tak tertulis dan menerimanya tanpa ada keluhan.

  • Putusan hukum

Putusan hukum menjadi aturan hukum yang harus ditaati berikutnya. Hanya saja, putusan hukum berlaku secara terbatas. Sebagai contoh, pada kasus putusan Mahkama Konstitusi (MK) terhadap gugatan hukum pada isi UU Ketenagakerjaan. Sebagian gugatan diterima oleh hakim, tapi putusan ini tidak mengubah isi undang-undang.

  • Perjanjian

Perjanjian kerja antara pemilik usaha dengan karyawan juga menjadi salah satu bentuk sumber hukum perburuhan dan ketenaga kerjaan. Hanya saja, secara umum perjanjian hanya mengikat kepada pihak yang berkaitan secara langsung. Selain itu, isi dari perjanjian biasanya boleh diketahui oleh pihak terkait. Apalagi, perjanjian ketenagakerjaan yang melibatkan serikat pekerja dengan perkumpulan pengusaha.

  • Traktat

Sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia yang terakhir adalah traktat, perjanjian yang dilaksanakan oleh dua atau beberapa negara. Konvensi yang merupakan perjanjian internasional oleh lembaga dunia menjadi salah satu jenis traktat, misalnya konvensi ILO.

Hanya saja, di Indonesia, konvensi ILO tidak secara otomatis menjadi sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan. Agar aturan pada konvensi itu bisa diberlakukan di Indonesia, pemerintah harus melakukan ratifikasi. Contoh ratifikasi yang pernah dilakukan antara lain adalah, UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973.

 

 

UU Ketenagakerjaan Terbaru di Indonesia

Seperti yang telah disebutkan, undang-undang menjadi aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan tertinggi di Indonesia. Di bawahnya, baru ada peraturan lain yang dibuat dengan landasan undang-undang. Saat ini, terdapat 4 aturan perundang-undangan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, yaitu:

  • UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-undang ini mengatur terkait perselisihan yang muncul dalam hubungan industrial. Berdasarkan aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia ini, terdapat 4 jenis perselisihan yang bisa terjadi, yaitu:

1. Perselisihan hak

Perselisihan ini timbul disebabkan oleh tidak dipenuhinya hak yang merupakan akibat adanya perbedaan pemahaman atau pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

 

2. Perselisihan kepentingan

Perselisihan ini muncul dalam hubungan industrial karena tidak adanya kesepahaman mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja pada perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

 

3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)

Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kepahaman mengenai pemutusan hubungan kerja oleh salah satu pihak. Dalam penyelesaian perselisihan itu, pihak-pihak yang terkait bisa memilih berbagai metode, seperti perundingan bipartit, mediasi oleh pemerintah, penyelesaian melalui konsiliasi, penyelesaian lewat arbitrase, ataupun pengadilan perselisihan hubungan industrial (PHI).

 

4. Perselisihan antara serikat pekerja

Perselisihan ini terjadi pada dua serikat pekerja atau lebih yang berada dalam 1 perusahaan.  Perselisihan itu bisa terjadi karena tidak adanya kesesuaian pemahaman terkait keanggotaan, pelaksanaan hak, serta kewajiban keserikatpekerjaan.

  • UU Nomor 18 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Tahun 2017

Undang-undang ini mengatur terkait penempatan, perlindungan, serta persyaratan para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri. Keberadaannya menggantikan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri.

Di dalamnya, diatur secara rinci tahapan yang harus dilalui ketika seorang warga negara ingin mengajukan diri menjadi seorang TKI. Selain itu, diatur pula terkait perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI).

Selain itu, UU ini juga memberi perlindungan tidak hanya pada TKI, tapi juga anggota keluarga. Hal ini sesuai dengan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

  • UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja

UU Nomor 21 Tahun 2000 memberikan kesempatan bagi para buruh untuk mendirikan organisasi buruh secara mandiri. Tidak heran kalau saat ini banyak bermunculan serikat buruh yang memiliki visi serta misinya masing-masing. Bahkan, dalam satu perusahaan, bisa muncul serikat buruh lebih dari 1 organisasi. Hal ini sangat memungkinkan karena menurut aturan ini, buruh bisa mendirikan organisasi dengan anggota minimal 10 orang.

  • UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan landasan dasar dari aturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia. UU ini memiliki total sebanyak 193 pasal dan memiliki cakupan hukum yang luas. Undang-undang ini juga mengatur tentang status hubungan industrial pada setiap jenis usaha. Mulai dari usaha kecil, menengah, hingga usaha besar.

Undang-undang ini pun mengatur tentang hubungan kerja yang berlangsung antara buruh dengan perusahaan, termasuk di antaranya adalah perlindungan, hak , serta kewajiban masing-masing pekerja dan pengusaha. Secara khusus, problem yang kerap menjadi sorotan dari UU Ketenagakerjaan ini adalah terkait kebijakan outsourcing, pemberian upah murah, serta PHK yang terjadi seenaknya.

 

Mengkritisi Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia

Hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia sangat kompleks. Apalagi, aturan ini dibuat untuk mengatur seluruh warga negara dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa. Tidak heran kalau aturan ini pun memiliki banyak kekurangan.

Karena itu, para buruh dalam setiap perayaan May Day yang jatuh pada tanggal 1 Mei, menyuarakan pendapatnya agar pemerintah melakukan revisi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia. Permintaan revisi itu tidak hanya terkait UU Ketenagakerjaan, tapi juga UU terkait lain.

Keberadaan aturan hukum ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya merugikan bagi para buruh. Kerugian tidak kalah besar juga diperoleh para pengusaha. Oleh karena itu, permintaan revisi serupa juga diungkapkan oleh para pengusaha, baik pengusaha lokal ataupun pengusaha luar negeri yang menanamkan modalnya di Indonesia.

 

Setidaknya, ada 5 poin yang menjadi kritik untuk aturan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu:

  1. PHK karyawan

Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa perusahaan bisa memecat karyawan ketika melakukan kesalahan berat. Hanya saja, undang-undang ini tidak menyebutkan secara jelas kriteria yang termasuk dalam kesalahan berat tersebut. Alhasil, buruh menjadi pihak yang dirugikan akibat aturan ini.

  1. Karyawan outsourcing

Alih daya tenaga kerja (outsourcing) menjadi sumber permasalahan yang banyak dikritik dari UU Ketenagakerjaan. Pada praktiknya, banyak perusahaan yang menggunakan karyawan outsourcing untuk memenuhi kebutuhan tenaga pada kegiatan utama. Namun, para pengusaha kerap beralasan bahwa UU ini tidak menyebutkan secara jelas penafsiran dari kegiatan utama.

  1. Inkonsistensi

UU ini juga memiliki inkonsistensi pada pasal-pasalnya. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Aloysius Uwiyono dari Universitas Indonesia seperti dikutip dari Hukum Online. Salah satu inkonsistensi pada UU ini adalah terkait perjanjian kerja waktu tertentu atau KKWT.

UU ini menyebutkan bahwa KKWT merupakan perjanjian yang dilakukan pada jangka waktu tertentu. Namun, pada pasal lain, mengungkapkan bahwa perjanjian kerja pada pekerjaan yang bersifat tetap, tidak boleh memakai aturan perjanjian kerja waktu tertentu.

Secara khusus, inkonsistensi ini menjadi menjadi permasalahan pada UU Ketenagakerjaan yang merugikan para pengusaha. Kritik terhadap undang-undang ini dari kalangan pengusaha pernah dilontarkan oleh Direktur Utama PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Masahiro Nonami.

Dalam wawancaranya dengan Tempo, Nonami mengungkapkan bahwa tuntutan upah layak, penolakan PHK, ataupun permintaan tunjangan sosial dari kalangan buruh sudah menjadi hal yang biasa, khususnya di negara berkembang. Hal seperti ini pernah terjadi di Jepang pada kurun 1970-an.

Menurut Nonami, permasalahan seperti itu tidak akan dihadapi pemerintah kalau UU Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia memiliki aturan yang jelas. Selama ini, ujar Nonami, aturan terkait perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia dianggapnya tidak jelas. Alhasil, terjadi multitafsir dalam penerapannya di lapangan.

  1. Pengadilan PHI

Selama ini, pengadilan yang mengurusi perselisihan dalam hubungan industrial bersifat yudikatif. Hal ini dianggap tidak tepat, karena seharusnya lembaga tersebut secara khusus menangani permasalahan hubungan industrial. Alih-alih lembaga yudikatif, pengadilan PHI lebih cocok adalah lembaga eksekutif.

Tidak hanya itu, pengadilan PHI juga harus menyediakan layanan pencarian keadilan yang ramah bagi para buruh. Apalagi, saat ini dalam praktiknya, pertikaian antara buruh melawan pengusahan di pengadilan PHI berakhir dengan kemenangan pengusaha. Mayoritas karena masalah finansial dari para buruh.

  1. Pengadilan PHI sebagai sarana buruh mencari keadilan

Dosen hukum ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum Unair, Hadi Subhan mengatakan pengadilan PHI tidak memberi perlindungan kepada para buruh. Padahal, sejatinya keberadaan pengadilan PHI merupakan sarana para buruh dalam mencari keadilan.

Oleh karena itu, pengadilan PHI seharusnya diberlakukan seperti PTUN. Di situ, rakyat bisa menggugat pejabat negara, namun tidak berlaku sebaliknya. Kalau hal ini diberlakukan, maka buruh bisa menggugat perusahaan, tapi perusahaan tak bisa menuntut buruh.

 

Solusi Permasalahan Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Lukman Hakim mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, konflik antara pengusaha dengan para buruh mengalami peningkatan. Menariknya, sumber permasalahan dari konflik tersebut tidak lain adalah UU Ketenagakerjaan.

Seiring dengan peningkatan perselisihan tersebut, pihak-pihak yang tengah berselisih, baik pengusaha ataupun para buruh harus mempersiapkan diri dengan baik. Salah satunya adalah dengan menggunakan tenaga pengacara khusus hukum perburuhan dan ketenagakerjaan.


Sumber : bplawyers.co.id